Header Ads

test

Pertanyakan Nasib Guru Agama, SGN PAI Rilis Surat Terbuka ke Presiden


Terliput- Serikat Guru Nasional Pendidikan Agama Islam atau SGN PAI merilis surat terbuka kepada presiden untuk mempertanyakan  pengakuan negara atas profesionalisme guru agama.

Dimana saat ini masih terdapat 32.000 guru agama Islam yang belum mendapat sertifikat pendidik karena terhambatnya proses Pendidikan Profesi Guru (PPG). Berbeda 180 derajat dengan guru dibawah kementerian pendidikan yang memiliki kuota sangat besar sehingga hampir semua PNS sudah tersertifikasi semua.

Kemenag sebagai kementerian yang membawahi pendidikan keagamaan hanya bisa mensertifikasi 1000 guru pada tahun 2020 ini. Jika tiap tahun sama, berarti butuh 32 tahun agar guru agama bisa mendapat serdik.

Antrean panjang ini tentu merugikan guru agama yang sudah berpuluh tahun mengabdikan diri. Bisa jadi sampai purna tugas (pensiun) GPAI tidak akan pernah menjadi "profesional".

Alih-alih akan diberangkatkan per tahun,  masa pandemi Covid-19 ini, GPAI harus gigit jari. Karena Kemenag kembali membuat keputusan mengejutkan. PPG GPAI  pada tahun 2020 dibatalkan. Anehnya pencairan tunjangan profesi tetap berjalan sebagaimana biasa. Kondisi ini semakin mengaduk-aduk emosi GPAI non sertifikasi.

Nur Munafi'in, ketua SGN PAI berpendapat tanpa perjuangan keras, nasib GPAI akan selalu terpinggirkan. "Kita tidak bisa mengandalkan sabar dan ikhlas saja, tapi ikhtiar keras wajib dilakukan", jelas guru yang mengajar di wilayah Salatiga ini.

"Lebih setahun kami bersuara tapi tidak didengarkan, makanya kita kirim surat terbuka ini agar para petinggi negara dan publik memahami aspirasi kami", tambah Nur Munafi'in.

Berikut isi suratnya.

SURAT TERBUKA
GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM NON SERTIFIKASI

Kepada yang kami hormati:
1. Bapak Presiden Republik Indonesia
2. Bapak Menteri Agama Republik Indonesia
3. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Komisioner Ombudsman Republik Indonesia
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pimpinan Organisasi Profesi Guru di seluruh wilayah Indonesia

Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Ba'da salam, semoga Allah senantiasa melimpahkan inayah dan hidayahNya kepada Bapak Ibu semua dalam memberikan pelayanan terhadap bangsa dan rakyat Indonesia

Melalui surat terbuka ini, ijinkan kami Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang mengajar di sekolah umum di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia, untuk menyampaikan keluh kesah dan curahan hatiselaku Pegawai Negeri Sipil (PNS)  yang mendapatkan perlakuan kebijakan secara diskriminatif dan telah berlangsung selama bertahun-tahun hampir tanpa ada upaya perbaikan dari kementerian/lembaga yang berkepentingan.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Perlu kami sampaikan bahwa pendidikan adalah unsur terpenting untuk membawa sebuah bangsa menuju pada puncak peradabannya, yakni sebuah peradaban yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi sekaligus religius,santun dan humanis secara moral dan etika yang didasarkan pada nilai-nilai agama.

Alhamdulillah, bangsa kita, Indonesia, yang walaupun bukan bangsa agama tetapi telah menjadikan agama sebagai pijakan dasar dalam membangun peradaban bangsa ke depan, termasuk pendidikan sebagaimana amanat konstitusi kita yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam susunan dasar negara kita Pancasila.

Melalui sila ini, pemerintah negara Republik Indonesia di dalam sistem pendidikan telah menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran wajib di semua tingkatan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi.

Namun demikian keberadaan pendidikan agama di sekolah belumlah dapat tampil indah sebagaimana tujuan filosofisnya. Ketidakelokan tersebut mewujud dalam layar pengelolaan pendidikan agama dan guru agama yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah cukup usang untuk menjawab persoalan-persoalan keagamaan kekinian.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Kami adalah insan pendidikan yang setiap hari berkecimpung sebagai praktisi pendidikan di semua tingkat yang menghadapi banyak persoalan, baik yang bersumber dari insan pendidikan (peserta didik yang terus berkembang secara dinamis) maupun persoalan yang bersumber dari diri kami sendiri.

Sebagai manusia biasa yang tentu memiliki hasrat pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga sebagaimana profesi-profesi lainnya sesama PNS yang selama ini (puluhan tahun) tidak bisa kami penuhi oleh karena adanya perlakuan kebijakan DISKRIMINATIF dari pemangku kebijakan.

Bahkan kami juga harus ikut menjadi korban perundungan sosial dari segenap masyarakat di sekitar kami manakala kami bergerak meminta dan menuntut adanya perlakuan yang tidak DISKRIMINATIF terhadap kami.

Hal ini dapat kami mengerti karena kami tahu bahwa sebagian besar dari masyarakat termasuk Bapak dan Ibu sekalian tidak mengetahui yang sejatinya terjadi pada kami sebagai pelaku pendidikan berstatus PNS.

Di masyarakat, telah menjadi pengetahuan bersama bahwa kami selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah satu profesi yang menjadi idaman banyak orang. Dalam pengetahuan mereka, semua PNS memiliki gaji pokok tinggi, dan juga gaji tunjangan yang banyak, apalagi bagi seorang guru.

Mereka mengira bahwa guru PNS di samping memiliki gaji tinggi juga masih diberikan tunjangan sertifikasi yang katanya sebesar satu kali gaji pokok. Menurut mereka, pekerjaan menjadi guru PNS adalah sangat menyenangkan karena pekerjaan yang ringan dan dapat meninggalkan sekolah kapan saja dengan penerimaan gaji dan tunjangan tetap utuh tanpa potongan.

Masyarakat tidak mau melihat bahwa yang dihadapi seorang guru adalah anak-anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan serta masa proses menjadi manusia sesungguhnya, yang tentu sangat berbeda karakteristiknya dibandingkan berkas-berkas kantor yang tidak memiliki ruh.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,
Berbagai asumsi masyarakat tentang kesejahteraan guru PNS tersebut memang pernah menjadi salah satu alasan kami untuk memilih profesi mulia ini. Namun yang kami temukan nyatanya tidak demikian.

Perlu kami sampaikan bahwa di Indonesia ada banyak jenis guru dengan perlakukan yang berbeda-beda. Ada guru PNS dan ada guru non PNS. Ada guru yang telah menerima tunjangan profesi dan ada guru yang belum menerima tunjangan profesi. Bagi seorang guru PNS dan sudah menerima tunjangan profesi, apa yang selama ini menjadi asumsi masyarakat mungkin tidaklah salah.

Tetapi kenyataannya tidak semua guru adalah PNS, dan tidak semua guru PNS adalah sudah menerima tunjangan profesi. Ada guru-guru bukan PNS dengan penghasilan yang jauh di bawah tenaga-tenaga buruh kasar dengan pendidikan di bawah mereka dan ada juga guru-guru PNS yang hanya membawa pulang gaji plus tunjangan melekat (tunjangan anak dan istri serta tunjangan fungsional yang besarannya hanya sekitar 10% dari gaji pokok).

Mereka ini tentu berbeda dibandingkan guru PNS yang sudah menerima tunjangan profesi yang besarannya sampai 100% gaji. Hal ini tentu berbeda dibandingkan PNSlainnya di luar guru yang secara otomatis menerima tunjangan kinerja yang besarannya bisa berlipat dibandingkan gaji pokok yang secara umum sama dengan PNS guru.

Adapun mengenai beban kerja, seorang guru tidak saja bertanggung jawab atas pertumbuhan intelektualitas dan pengetahuan peserta didik, tetapi yang lebih berat dari itu adalah pertumbuhan dan perkembangan perilaku serta moralitas peserta didik sehingga menjadi generasi yang tidak hanya cerdas terdidik tetapi sekaligus berbudi pekerti luhur serta menjadi penerus yang senantiasa menampilkan sifat-sifat ketuhanan yang telah terinternalisasi pada diri mereka selama masa pembelajaran.

Tugas inilah yang sangat berat ditanggung seorang guru. Sudah jamak di masyarakat, jika ada peserta didik berhasil menjadi “orang” jarang sekali keberhasilan itu dianggap dan diperlakukan sebagai produk guru.

Namun  sebaliknya begitu seseorang gagal dalam mengejawantahkan perilaku dan moralitas, maka guru adalah yang terdepan dalam menanggung beban kegagalan tersebut.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,
Kembali ke persoalan pokok yang ingin kami sampaikan. Bahwa kami adalah termasuk di antara guru-guru PNS yang telah bekerja mengajar peserta didik di berbagai tingkat terhitung sejak tahun 2006.

Kami telah mengajar lebih dari 10 tahun. Kami memiliki beban kerja sama dengan guru-guru PNS yang sudah menerima tunjangan profesi selama bertahun-tahun.

Ketika guru PNS sertifikasi bekerja paling sedikit 24 jam tatap muka/minggu, maka kami juga 24 jam tatap muka/minggu. Ketika guru sertifikasi mendapatkan tugas tambahan dari kepala sekolah, maka kami juga menerima tugas tambahan tersebut.

Namun bedanya bahwa take home pay kami berbeda. Kami hanya menerima gaji pokok saja, sementara mereka menerima gaji  pokokplus tunjangan yang besarannya satu kali gaji.

 Hal yang lebih tragis lagi adalah ketika di dalam satu lembaga pendidikan (sekolah), kami adalah satu-satunya guru dengan masa kerja puluhan tahun yang belum menerima tunjangan profesi, bukan karena kami tidak memiliki kompetensi tetapi selama ini kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengikuti program sertifikasi.

Perlu kami sampaikan bahwa kami tidak bisa mengikuti program sertifikasi secara mandiri, karena kami terikat secara hukum bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah kewajiban pemerintah, sebagaimana amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Permendikbud No.5 tahun 2012, Permendikbud No.29 tahun 2016 juga Permendikbud No.37 tahun 2017.

Menurut semua peraturan perundang-undangan tentang sertifikasi guru, kami sangat memenuhi syarat, hanya sampai dengan saat ini pemerintah belum juga memberikan kesempatan kepada kami.

Menurut PP No.55 tahun 2007, ada dua kementerian yang diberikan kewenangan secara hukum untuk memberikan sertifikasi kepada guru, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berwenang memberikan sertifikasi kepada guru  non pendidikan agama yang mengajar di sekolah yang berada di bawah naungannya dan/atau naungan Pemerintah Daerah.

 Yang kedua adalah Kementerian Agama yang diberikan kewenangan untuk memberikan sertifikasi kepada semua guru yang mengajar di madrasah dan pesantren  serta guru-guru pendidikan agama yang mengajar di sekolah-sekolah di bawah naungan Kemendikbud ataupun Pemda.

Sementara Kami adalah guru Pendidikan Agama Islam yang mengajar di sekolah di bawah Kemendikbud ataupun Pemda. Sehingga pengelolaan sertifikasi kami berada di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia.

Di sekolah kami, hampir semua guru non pendidikan agama yang berstatus PNS telah tersertifikasi, bahkan kepada guru yang baru memiliki masa kerja 3-4 tahun pun telah memiliki sertifikat pendidik.

Namun sebaliknya kami yang telah puluhan tahun belum juga dapat memiliki sertifikat pendidik, padahal sertifikat pendidik tersebut merupakan syarat seorang guru disebut profesional.

Jadi begitu nyata diskriminasi itu terjadi di antara kami sesama guru yang mengajar di sekolah yang sama, dengan beban kerja dan tanggung jawab yang sama, tetapi memiliki tingkat kesejahteraan dan (dipaksa) profesionalisme yang berbeda.

Sungguh ironi, hal ini justru terjadi pada kami guru-guru pendidikan agama Islam yang memiliki jumlah peserta didik lebih banyak dibandingkan guru pendidikan agama lainnya, jumlah terbanyak di negara berpenduduk Islam terbesar di dunia.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,
Surat ini kami buat bukan karena kami tidak bisa bersyukur atas kondisi kami yang tentu masih lebih baik dibandingkan guru-guru non PNS atau sebagian rakyat yang tidak bisa bekerja dan penduduk miskin lainnya.

Akan tetapi ketiadaan sertifikat pendidik tersebut, di samping berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan kami, juga berpengaruh terhadap peningkatan karir kepegawaian kami sebagai PNS yang tentu terikat secara hukum.

Dengan tidak adanya sertifikat pendidik tersebut, praktis kami tidak bisa melangkah maju menapak jenjang karir kepegawaian karena semua promosi, program peningkatan profesionalitas mensyaratkan adanya sertifikat pendidik yang itu belum kami miliki.

Sehingga pada titik akhir, kami tidak bisa kemana-mana. Hal itu masih diperparah dengan sebutan kami sebagai GURU TIDAK PROFESIONAL, meskipun banyak di antara kami berpendidikan magister yang memiliki berbagai kompetensi yang bahkan belum tentu dimiliki guru yang  sudah sertifikasi.

Dalam sejarahnya, pelaksanaan sertifikasi pendidik dimulai pada tahun 2007 yaitu sertifikasi bagi guru yang diangkat sampai dengan 31 Desember 2005 atau memiliki masa kerja minimal 8 (delapan) tahun.

Aturan ini berlangsung hingga tahun 2012, yaitu dengan terbitnya Permendikbud No.5 tahun 2012, yang lagi-lagi menyasar pada guru yang diangkat sampai dengan akhir Desember 2005.

Kemudian pada tahun 2016, melalui Permendikbud No.29 tahun 2016, kami sedikit ada harapan bisa mendapatkan sertifikasi karena peraturan tersebut telah menyasar pada guru yang di angkat sampai dengan akhir 2015.

Teman-teman kami non guru agama di sekolah yang satu angkatan dengan kami mulai menerima panggilan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara kami hanya menunggu panggilan dari Kementerian Agama yang ternyata tidak kunjung datang.

Waktu terus berlalu, tahun terus berjalan. 2016 telah usai, 2017, 2018, 2019, ketika teman-teman guru non pendidikan agama telah tersertifikasi semua, bahkan sudah mulai menyentuh guru-guru non PNS, ternyata hal tersebut tidak terjadi pada kami di bawah naungan Kemenag.

Tahun 2016 Kemenag tetap memanggil guru yang TMT sampai dengan 2005, berlanjut di tahun 2017, 2018 dan bahkan awal 2019, sertifikasi di bawah Kemenag hanya diperuntukkan bagi guru yang TMT sebelum 2006 meskipun realisasinya di lapangan  (jika dilakukan verifikasi langsung) pada dasarnya guru-guru yang TMT di bawah 2006 tersebut telah habis tersertifikasi semua.

Namun karena tidak adanya aturan yang jelas dan tegas mengenai pendataan guru sebelum 2006, maka diduga tiap tahun muncul SK-SK baru dengan TMT mengajar sebelum 2005 hasil rekayasa yang dilakukan oleh banyak GPAI Pemburu Tunjangan Profesi. Tindakan menghalalkan segala cara ini mereka lakukan demi memenuhi persyaratan keikutsertaan PLPG/PPG.

Jika hal tersebut dibiarkan terus berlangsung, maka sampai kapanpun kami GPAI yang tidak mau merekayasa SK-SK yang menjelaskan bahwa kami diangkat sebelum 2006 sebagaimana diduga telah dilakukan oleh GPAI-GPAI Pemburu Tunjangan Profesi dengan mengabaikan integritas, tidak akan pernah memiliki sertifikat pendidik.

Carut marutnya sistem sertifikasi GPAI di bawah Kemenag tersebut telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada satupun lembaga dan organisasi baik milik negara ataupun Non Government Organisation (NGO) yang mencoba menelisik dan mengangkat isu kecarut-marutan pengelolaan sertifikasi tersebut.

Banyak mal-administrasi yang terjadi hampir tanpa ada sorotan dan telah berlangsung bertahun-tahun.

Bahkan organisasi-organisasi profesi semacam PGRI, PGSI, IGI, AGPAII, mereka minim usaha dalam menyuarakan persoalan tersebut. Sampai akhirnya pada bulan Maret 2019 kami bergerak mengadu kepada Kementerian Agama RI yang pada waktu itu ditemui Direktur Pendidikan Agama Islam dan Alhamdulillah menghasilkan kesepakatan penghapusan ketentuan yang mengharuskan telah mengajar sebelum 2006.

Pada akhir tahun 2019, akhirnya kami dipanggil untuk mengikuti tahapan awal dari proses panjang sertifikasi. Namun ternyata itu hanyalah harapan semu, banyak di antara kami menerima panggilan tersebut.

Setidaknya ada sejumlah 32.000 orang GPAI mengikuti tahapan awal tersebut, namun ternyata Kemenag hanya mengambil 1.000 orang GPAI/tahun untuk mengikuti tahapan berikutnya dalam bentuk pendidikan profesi guru (PPG).

Sehingga jika hal tersebut dibiarkan, maka akan ada di antara kami GPAI yang belum sertifikasi yang harus menunggu waktu selama 32 tahun untuk sekedar menerima panggilan sertifikasi.  TRAGIS NIAN NASIB KAMI.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Melalui surat terbuka ini Kami ingin menyampaikan bahwa kami adalah PNS yang diatur secara ketat oleh undang-undang. Kami diangkat melalui Surat Keputusan (SK) Pemerintah Daerah sama seperti guru-guru lainnya yang mengajar di sekolah-sekolah umum (di luar Kemenag).

Kami di gaji oleh Pemda, kami diperiksa oleh Pemda. Peraturan-peraturan disiplin pegawai, kami mengikuti peraturan Pemda. Tetapi mengapa sertifikasi dan pembinaan kami diberikan kepada Kemenag? Pada akhirnya kami adalah anak yang tidak dilahirkan Kemenag tetapi “diurusi”Kemenag.

Kami adalah anak Pemda, tetapi Pemda tidak diberikan kewenangan mengurusi masa depan kami? Dan hal seperti ini terjadi pada kami saja, guru-guru pendidikan agama di sekolah umum. Kami adalah satu-satunya profesi yang dipisah antara kewenangan mengangkat dan membina.

Tidak ada satupun profesi yang mengalami nasib seperti kami, mulai polisi, jaksa, hakim dan profesi lainnya. Mereka yang mengangkat, maka mereka pula yang membina. Namun, Itulah yang terjadi pada kami Guru Pendidikan Agama di sekolah.

Ada yang mengatakan karena pendidikan agama bersinggungan dengan dua kementerian, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, sehingga perlu dipisah antara yang berwenang mengadakan dan yang berwenang membina termasuk memberikan sertifikat pendidik.

Kalau alasannya seperti itu, mengapa pendidikan jasmani dan olahraga, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ekonomi tidak juga dipisah sebagaimana kami?

Apakah karena kami adalah agama yang menjadi pokok landasan didirikannya bangsa ini, sehingga kami diperlakukan secara khusus, namun berdampak pada status ketidak jelasan pada diri kami.

Oleh organ-organ di bawah Kemenag, kami dianggap bukan anak kandung mereka. Sedang oleh organ Kemendikbud/Pemda, kami menerima jawaban bahwa mereka tidak memiliki kewenangan. Sampai kapan ketidakjelasan yang timbul karena PP No. 55 tahun 2007 ini akan terus berlangsung?

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Melalui surat terbuka ini, kami hanya ingin diperlakukan sama sebagaimana insan-insan seprofesi lainnya, termasuk pada masa-masa pandemi seperti sekarang ini.

Kami sungguh tidak menyangka, demi kontribusi Kementerian Agama  terhadap penanggulangan wabah Coronavirus Disease (Covid - 19), PPG yang mestinya dilaksanakan Kemenag pada tahun 2020 dengan menyasar hanya 1.000 GPAI saja dinyatakan dibatalkan.

Sementara tunjangan profesi bagi guru yang sudah sertifikasi tetap saja mengalir bahkan pada saat mereka tidak mengajar seperti biasanya. Mengapa justru kami yang tertinggal dan terbelakang dalam hal kesejahteraan yang lagi-lagi dikorbankan?

 Mengapa bukan tunjangan profesinya dan tunjangan kinerja bagi PNS non guru yang dipangkas, sehingga sesama PNS akan mempunyai kesamaan?

 Sungguh di mana nalar empati dari Bapak Kementrian Agama (Pendis) sebagai eksekutor kebijakan sertifikasi GPAI kepada kami GPAI-GPAI kecil yang belum pernah merasakan tunjangan sertifikasi.

 Mengapa kebijakan itu diarahkan untuk lebih membela yang besar dan sejahtera dibandingkan yang kecil dan tidak terurus?

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Kami berharap melalui surat terbuka ini ada perubahan pengelolaan guru secara mendasar. Biarlah pendidikan diurus dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya pendidikan agama di sekolah, bukan oleh Kementerian Agama.

Dan biarkan Kementerian Agama cukup mengurusi dan mengelola yang menjadi bidang kerjanya, yakni pendidikan keagamaan yang terdiri dari madrasah dan pesantren. Sehingga akan sesuailah amanat Undang-Undang No. 20 tahun 2003, bahwa Pemerintah wajib menyelenggarakan satu sistem pendidikan.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Semoga Bapak Ibu sekalian diberikan hati dan pikiran yang jernih dalam mengambil kebijakan yang berkenaan dengan dunia pendidikan di Indonesia. Karena sektor inilah yang akan membawa wibawa bangsa ini masa depan

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Salatiga, 9 Mei 2020

Ketua Serikat Guru Nasional
Pendidikan Agama Islam (SGNPAI) Indonesia

TTD

Nur Munafiin, M.Pd.,M.Ag.